Monolog
“Terimakasih
Tuhan atas berkatmu hari ini, terimakasih untuk makanan yang engkau berikan,
terimakasih untuk hari yang menyenangkan, lindungilah aku dalam tidurku, kasihilah semua orang di muka bumi ini, dan
berkatilah kedua orangtuaku, amin” itulah sepenggal doaku malam ini, meskipun
aku tidak tau siapa orangtuaku, tapi aku merasa wajib mendoakan mereka. Tanpa
mereka aku tidak bisa hidup di muka bumi ini.
Namaku
Aluna, umurku 23 tahun. Kebanyakan seumuranku ini sudah lulus perguruan tinggi
bahkan sudah bekerja. Aku juga sudah bekerja, tapi bedanya aku tidak bekerja di
gedung-gedung tinggi menjulang itu. Aku bekerja sebagai bos, bos di perusahaan
kecilku yang kuberi nama Angin Ribut. Hebat bukan, di umurku yang sekarang
jabatanku sudah bos. Tidak seperti mereka yang masih menghamba di perusahaan
orang lain.
Aku
terlahir tanpa orangtua. kata tetanggaku, aku ditemukan di gerobak sampah abah
Adi, pria baik hati yang sudah menganggap aku seperti anaknya sendiri. Abah Adi
tidak punya anak, dia juga ditinggal mati istrinya. Aku tidak pernah sekolah,
tapi aku pintar cari uang. Hey, bukannya sekolah juga buat cari uang? Aku tidak
membutuhkan sekolah untuk bisa cari uang. Penghasilanku lumayanlah, satu bulan bersihnya
bisa dapat lima juta. Bukan, bukan mengemis… aku tidak suka dikasihani oleh
siapapun. Aku malah kasihan dengan mereka yang masih mau menjadi budak di
negeri sendiri.
Kalian
pasti penasaran apa sih usahaku sebenarnya? Tenang teman, simpan dulu rasa
penasaran kalian. Aku pasti cerita… awalnya aku cuma pengamen emperan jalan,
setiap sore ketika aku pulang mengamen, aku selalu melewati gunungan sampah
barang-barang elektronik, bekas-bekas kain, plastic ataupun botol. Di tempatku
kain perca tidak banyak peminatnya, aku sering memandang bekas-bekas kain yang
tidak terpakai itu motifnya sangat beragam, jadi aku mengambil sisa-sisa kain
tersebut. Kutunggu tukang jahit sampai tutup, biasanya ia membuang bekas
kainnya di kotak sampah depan tokonya. Awalnya kuambil sedikit demi sedikit
lalu kujahit juga potongan demi potongan kain tersebut. Aku melihatnya seperti
puzzle yang harus aku susun sebagus mungkin. Hari demi hari potongan kain itu
bertambah besar hingga jadilah sebuah selimut indah. Hasil karya pertamaku itu
kuberikan pada Abah Adi. Dia sangat senang menerima pemberianku.
Kegemaranku
tidak berakhir disitu saja, aku juga suka menabung. Uang hasil mengamenku
selalu aku tabung sebagian, dan sebagian lagi kuberikan pada Abah Adi untuk
dibelikan keperluan sehari-hari. Abah Adi bekerja sebagai tukang sampah di
kawasan elit disebelah kami ini. Katanya sih di sebelah dinding tinggi ini ada
perumahan yang sangat mewah, tempat tinggalnya para menteri dan juga
artis-artis ibukota.
Sore
itu sepulang kerja, abah Adi memberikanku hadiah, mesin jahit yang sudah rusak,
tapi kata Abah Adi, dia bisa memperbaikinya. Tak sampai seminggu Abah Adi sudah
selesai memperbaikinya dan voila… mesin jahit sudah bisa dipakai. Yang jadi
masalah waktu itu aku belum bisa menggunakan mesin jahit, Abah Adi mengajariku sedikit demi sedikit hingga aku
mengerti cara menggunakannya. Aku terlalu gembira saat itu hingga aku
memberanikan diri untuk bicara dengan tukang jahit yang sering aku ambil sisa
kainnya. Aku bilang aku ingin bekerja disana, terserah jadi apa juga boleh asal
aku bisa bekerja. Tentu saja dia menolakku. Tapi aku tak patah semangat teman,
aku datang setiap hari kesana hingga ibu tukang jahit itu bosan dan
mempekerjakanku. Dia bilang dia terpaksa mempekerjakanku disana. Tapi tak
apalah tak diharapkan, aku hanya ingin belajar.
Pekerjaanku
berganti, dari pengamen ke asisten tukang jahit. Aku dibayar dengan uang
alakadarnya. Tak apa, sesungguhnya aku tidak terlalu membutuhkan uangnya, aku
butuh ilmunya. Setiap selesai mendapatkan ilmu baru selalu aku terapkan
dirumah, dan objek penderitanya pastilah Abah Adi, hihihi kasihan juga Abah Adi
jadi objek keisenganku. Walaupun begitu ia tak pernah marah kepadaku. Dia
justru senang melihat aku sudah banyak kegiatan.
Minggu
lalu aku membantu Ibu Darmi, penjahit yang mempekerjakanku, untuk mengukur
tubuh. Lalu aku belajar membuat pola, membagi bahan, mengenali berbagai macam
kain hingga menjahit. Semua perkataan Ibu Darmi kuperhatikan dan berusaha
kupahami serta kuterapkan di rumah, tentunya dengan sedikit modifikasi yang
kulakukan.
Enam
bulan bekerja, aku sudah mahir membuat ini itu. Aku sudah berhasil membuatkan
Abah baju, celemek lucu, dan keset kaki. Semua hasil karyaku sendiri. Senang
rasanya… aku harus berterimakasih pada Bu Darmi.
Satu
demi satu tetangga melihat hasil karyaku, dan mereka bertanya apakah aku
menjualnya? Saat itu aku hanya tersenyum. Pikirku kalau aku menjual
pernak-pernik lucu ini aku tidak hanya bisa menambah pemasukan tapi juga bisa
membuka lapangan pekerjaan bagi tetangga-tetanggaku. Aku mengutarakan niatku
kepada Abah Adi, dan ia pun setuju.
Abah
Adi kemudian menjadi karyawan pertamaku, kami berdua saling bahu membahu
merintis usaha kecil ini. Walaupun usaha kecil juga butuh nama. Kunamakan Angin
ribut karena mesin jahit tua ini mengeluarkan angin dari roda berputar yang
mengatur cepat lambatnya jahitan, dan suaranya ribut sekali. Jadilah perusahaan
kecilku ini Angin Ribut.
Sekarang
aku sudah bisa mempekerjakan enam orang dan sudah bisa membeli dua mesin jahit
lagi. Tiga orang menjahit dan tiga orang lagi membentuk dan memotong pola. Para tetangga banyak juga
yang menjadi marketing produkku. Bahkan produkku sudah mulai masuk pasar
tradisional.
Begitulah
perjalananku merintis Angin ribut. Semua bahan yang kupakai gratis adanya.
Bahan gratis tapi bisa menghidupiku dan orang-orang disekitarku.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar