Kamis, 01 November 2012

Angin Ribut


Monolog
Terimakasih Tuhan atas berkatmu hari ini, terimakasih untuk makanan yang engkau berikan, terimakasih untuk hari yang menyenangkan, lindungilah aku dalam tidurku, kasihilah semua orang di muka bumi ini, dan berkatilah kedua orangtuaku, amin” itulah sepenggal doaku malam ini, meskipun aku tidak tau siapa orangtuaku, tapi aku merasa wajib mendoakan mereka. Tanpa mereka aku tidak bisa hidup di muka bumi ini.
Namaku Aluna, umurku 23 tahun. Kebanyakan seumuranku ini sudah lulus perguruan tinggi bahkan sudah bekerja. Aku juga sudah bekerja, tapi bedanya aku tidak bekerja di gedung-gedung tinggi menjulang itu. Aku bekerja sebagai bos, bos di perusahaan kecilku yang kuberi nama Angin Ribut. Hebat bukan, di umurku yang sekarang jabatanku sudah bos. Tidak seperti mereka yang masih menghamba di perusahaan orang lain.
Aku terlahir tanpa orangtua. kata tetanggaku, aku ditemukan di gerobak sampah abah Adi, pria baik hati yang sudah menganggap aku seperti anaknya sendiri. Abah Adi tidak punya anak, dia juga ditinggal mati istrinya. Aku tidak pernah sekolah, tapi aku pintar cari uang. Hey, bukannya sekolah juga buat cari uang? Aku tidak membutuhkan sekolah untuk bisa cari uang. Penghasilanku lumayanlah, satu bulan bersihnya bisa dapat lima juta. Bukan, bukan mengemis… aku tidak suka dikasihani oleh siapapun. Aku malah kasihan dengan mereka yang masih mau menjadi budak di negeri sendiri.
Kalian pasti penasaran apa sih usahaku sebenarnya? Tenang teman, simpan dulu rasa penasaran kalian. Aku pasti cerita… awalnya aku cuma pengamen emperan jalan, setiap sore ketika aku pulang mengamen, aku selalu melewati gunungan sampah barang-barang elektronik, bekas-bekas kain, plastic ataupun botol. Di tempatku kain perca tidak banyak peminatnya, aku sering memandang bekas-bekas kain yang tidak terpakai itu motifnya sangat beragam, jadi aku mengambil sisa-sisa kain tersebut. Kutunggu tukang jahit sampai tutup, biasanya ia membuang bekas kainnya di kotak sampah depan tokonya. Awalnya kuambil sedikit demi sedikit lalu kujahit juga potongan demi potongan kain tersebut. Aku melihatnya seperti puzzle yang harus aku susun sebagus mungkin. Hari demi hari potongan kain itu bertambah besar hingga jadilah sebuah selimut indah. Hasil karya pertamaku itu kuberikan pada Abah Adi. Dia sangat senang menerima pemberianku.
Kegemaranku tidak berakhir disitu saja, aku juga suka menabung. Uang hasil mengamenku selalu aku tabung sebagian, dan sebagian lagi kuberikan pada Abah Adi untuk dibelikan keperluan sehari-hari. Abah Adi bekerja sebagai tukang sampah di kawasan elit disebelah kami ini. Katanya sih di sebelah dinding tinggi ini ada perumahan yang sangat mewah, tempat tinggalnya para menteri dan juga artis-artis ibukota.
Sore itu sepulang kerja, abah Adi memberikanku hadiah, mesin jahit yang sudah rusak, tapi kata Abah Adi, dia bisa memperbaikinya. Tak sampai seminggu Abah Adi sudah selesai memperbaikinya dan voila… mesin jahit sudah bisa dipakai. Yang jadi masalah waktu itu aku belum bisa menggunakan mesin jahit, Abah Adi mengajariku sedikit demi sedikit hingga aku mengerti cara menggunakannya. Aku terlalu gembira saat itu hingga aku memberanikan diri untuk bicara dengan tukang jahit yang sering aku ambil sisa kainnya. Aku bilang aku ingin bekerja disana, terserah jadi apa juga boleh asal aku bisa bekerja. Tentu saja dia menolakku. Tapi aku tak patah semangat teman, aku datang setiap hari kesana hingga ibu tukang jahit itu bosan dan mempekerjakanku. Dia bilang dia terpaksa mempekerjakanku disana. Tapi tak apalah tak diharapkan, aku hanya ingin belajar.
Pekerjaanku berganti, dari pengamen ke asisten tukang jahit. Aku dibayar dengan uang alakadarnya. Tak apa, sesungguhnya aku tidak terlalu membutuhkan uangnya, aku butuh ilmunya. Setiap selesai mendapatkan ilmu baru selalu aku terapkan dirumah, dan objek penderitanya pastilah Abah Adi, hihihi kasihan juga Abah Adi jadi objek keisenganku. Walaupun begitu ia tak pernah marah kepadaku. Dia justru senang melihat aku sudah banyak kegiatan.
Minggu lalu aku membantu Ibu Darmi, penjahit yang mempekerjakanku, untuk mengukur tubuh. Lalu aku belajar membuat pola, membagi bahan, mengenali berbagai macam kain hingga menjahit. Semua perkataan Ibu Darmi kuperhatikan dan berusaha kupahami serta kuterapkan di rumah, tentunya dengan sedikit modifikasi yang kulakukan.
Enam bulan bekerja, aku sudah mahir membuat ini itu. Aku sudah berhasil membuatkan Abah baju, celemek lucu, dan keset kaki. Semua hasil karyaku sendiri. Senang rasanya… aku harus berterimakasih pada Bu Darmi.
Satu demi satu tetangga melihat hasil karyaku, dan mereka bertanya apakah aku menjualnya? Saat itu aku hanya tersenyum. Pikirku kalau aku menjual pernak-pernik lucu ini aku tidak hanya bisa menambah pemasukan tapi juga bisa membuka lapangan pekerjaan bagi tetangga-tetanggaku. Aku mengutarakan niatku kepada Abah Adi, dan ia pun setuju.
Abah Adi kemudian menjadi karyawan pertamaku, kami berdua saling bahu membahu merintis usaha kecil ini. Walaupun usaha kecil juga butuh nama. Kunamakan Angin ribut karena mesin jahit tua ini mengeluarkan angin dari roda berputar yang mengatur cepat lambatnya jahitan, dan suaranya ribut sekali. Jadilah perusahaan kecilku ini Angin Ribut.
Sekarang aku sudah bisa mempekerjakan enam orang dan sudah bisa membeli dua mesin jahit lagi. Tiga orang menjahit dan tiga orang lagi membentuk  dan memotong pola. Para tetangga banyak juga yang menjadi marketing produkku. Bahkan produkku sudah mulai masuk pasar tradisional.
Begitulah perjalananku merintis Angin ribut. Semua bahan yang kupakai gratis adanya. Bahan gratis tapi bisa menghidupiku dan orang-orang disekitarku.

Tidak ada komentar: