Ketika hari minggu
tiba, ayah selalu mengajakku ke gereja, dia juga mengajariku segala hal
mengenai Yesus dan kasihnya sebagai juru selamat bagi seluruh umat. Ayahku selalu
bersemangat menjelang paskah karena pada saat itu selalu ada drama penyaliban
Yesus. Ayah selalu menceritakan pengorbanan Yesus yang seharusnya menjadi bahan
perenungan manusia untuk tetap berada di jalan Tuhan. Meski Ayahku beragama
Kristen namun ia tidak pernah makan-makanan yang dilarang oleh agama Ibu. Kata
Ayah, itu salah satu caranya untuk menghormati agama Ibu.
Ibuku lain lagi, ia
tidak pernah memaksa aku untuk ikut ke masjid jika ada hari-hari perayaan
Islam. Ia juga tidak pernah mendoktrin aku dengan ajarannya. Aku hanya melihat
tata caranya melakukan ibadah sehari-hari. Yang aku tahu, ibuku melakukan lima
kali sholat dalam sehari. Sebelum sholat ia selalu membasuh anggota badan
tertentu yang kemudian aku tahu namanya berwudhu. Aku Cuma memperhatikan dan
bertanya. Sesekali aku membaca sendiri buku-buku agama ayah dan ibuku.
Hingga 17 tahun aku
tidak pernah berfikir untuk memilih agama. Adalah suatu ketidakadilan bagi
mereka jika aku memilih salah satu agama, ya walaupun ayah dan ibuku tidak pernah
memperdebatkan aku harus ikut agama siapa. Mereka justru menyerahkan semua
keputusannya kepadaku.
Hidup diantara dua
agama seperti ini merupakan hal terindah. Disini, aku belajar arti toleransi,
tanggung jawab bahkan berbagi kasih. Alangkah indahnya kehidupan kedua
orangtuaku, pikirku saat itu. Aku sayang mereka, dan tidak mau membuat mereka
kecewa.
Agama bukanlah
satu-satunya alasan manusia untuk bisa hidup. Manusia hidup tentu mempunyai
tujuan lain, yaitu Tuhan. Aku berfikir, Tuhan tentunya tidak pernah
memperdebatkan manusia untuk masuk ke agama manapun asalkan manusia itu
bertanggung jawab atas apa yang telah ia pilih. Dan suatu saat aku pun harus
memilih.
Seiring berjalannya
waktu, aku tumbuh dengan sangat baik.dan tidak pernah kekurangan suatu apapun
Tumbuh dengan cinta kasih yang tidak semua orang bisa miliki. Aku rasa itu
merupakan anugerah dari Tuhan yang patut aku syukuri. Pemikiranku mengenai
Tuhan semakin membawaku ke arah siapa itu Tuhan, dan apa yang mendasari-Nya
menurunkan manusia ke bumi?.
Dari semua
pemikiran-pemikiran tersebut akhirnya aku berkesimpulan, bagiku Tuhan itu satu.
Tentunya Dia bukan manusia, bukan juga patung-patung yang dibuat oleh
tangan-tangan manusia, akupun tidak mempercayai adanya reinkarnasi. Tuhan itu
tidak berwujud. Aku tentu tidak bisa menerima konsep tritunggal ataupun
trinitas yang diajarkan Ayahku. Bagiku Yesus Cuma manusia biasa yang diangkat
oleh Tuhan sebagai manusia kepercayaannya untuk menyebarkan suatu kebenaran.
Semua jawaban aku
temukan di agama ibuku sebenarnya. Islam tidak mengenal tritunggal, yang ibu
sembah ialah Allah yang jelas tidak berwujud. Namun kemudian aku berpikir lagi
tidak mempunyai agama jauh lebih baik karena sejujurnya aku tidak ingin seperti
mereka yang terlalu fanatik terhadap agama yang mereka yakini benar. Baku
hanatam, bahkan tak segan untuk saling membunuh atas nama Tuhan sungguh
membuatku miris dan tidak ingin mempunyai agama.
Hey, jangan berfikiran
negatif dulu. Aku Cuma bilang tidak mau beragama, bukan tidak percaya Tuhan.
Aku tetap percaya adanya Tuhan. Tapi aku rasa agama Cuma mempermainkan manusia
saja, dipenuhi aturan-aturan yang tidak jelas untuk apa, terlalu menganggap
jika ajaran mereka benar dan yang lain salah.
Padahal Tuhan bahkan
tidak menginginkan terjadinya kehancuran di dunia hanya karena benar atau
salah. Tuhan justru menginginkan manusia untuk hidup damai dan sejahtera. Untuk
apa mengaku beragama kalau tidak pernah mengamalkan apa yang ada di dalam agama
tersebut. Untuk apa beragama jika kelakuannya tidak mencerminkan orang yang
beragama?.
So now, to be an
agnostic is my choice. Yes I wanna be an agnostic, I still believe in God and
His power. But I don’t believe religion.
Untuk sahabatku sebagai
bahan perenungan

Tidak ada komentar:
Posting Komentar